Ehm. Pertama-tama, saya mau pesan, kalau tulisan ini tidak punya makna rasis, maupun hal-hal sukisme. Maka, sebelumnya, perkenankanlah, saya minta maaf kalau-kalau ada yang menyinggung. Kalau rupanya, dari yang mampir dan kebetulan membaca ada yang tersinggung, atau emrasa saya diskreditkan, boleh lho langsung send comment :) Tapi, yang masuk akal dan sopan yah... Sip??
Oke,
Saya dari salah satu kota besar di Indonesia, Surabaya. Lahir dan besar di Surabaya. Orangtua saya bertemu dan menikah di Surabaya. Punya rumah di Surabaya, dan saya serta adik-adik saya lahir di Surabaya, eh kecuali yang paling bontot, dia lahir di Waru Sidoarjo, daerah Sidoarjo yang paling mefet sama Surabaya.
Orangtua saya bukan asli Surabaya. Papa memang besar di Surabaya, tapi beliau punya darah Medan 50%, Semarang 50%. Sementara mama, aseli KTI (Kawasan Timur Indonesia - Hayo.. siapa yang ngga ngerti?? :) ) dengan 25% darah belanda. Auw auw.. saya ada bulelebonya dikiiittt :D
Jangan khawatir, tulisan ini nggak akan membahas kenarsisan saya. Justru, membahas betapa sempitnya saya. NOT LITERALLY yah. Tapi apa yang ada di dalam otak dan memory ini yang rupanya sangat sempit dan terbatas. Entah karena apa.
Sejak kapan saya mulai sadar kalau isi otak saya yang cukup pandai ini rupanya hanya berputar-putar di situ-situ saja? Sejak saya mulai berpacaran! Really! Saya ngga bicara tentang romansa. Kesempitan bahan dalam otak juga bukan masalah cinta-cinta L.O.V.E, melainkan tentang pengetahuan. Pengetahuan UMUM!!!
Jadi, begini sejarah dimulainya penghempasan harga diri kepintaran saya ke tanah air! Pacar saya juga orang dari daerah KTI. Nggak asli pula. Ada 25% Banjarmasin, 25% Arab, 25% Kupang, 25% Belanda! NAH LHO! do'i ngga mau kalah gado-gado sama saya! hahaa..
Pada awalnya, saya merasa superior. Selain karena track record nilai-nilai saya yang lebih bagus dan penyelesaian sylabus kuliah yang lebih mulus, juga karena penguasaan saya terhadap teknologi mutakhir berada beberapa belas langkah di depannya. Terasa menyenangkan kadang-kadang menggoda pacar saya yang agak-agak gaptek saat itu. Sekarang sih dia sudah cukup canggih, bahkan juga tahu beberapa fitur tambahan untuk gadget-gadgetnya.
Perbedaan mulai terlihat, saat usia pacaran mulai bertambah. Kami sudah mulai berani saling serang dengan fakta dan data. Di situ saya harus mengakui satu hal: Saya Kalah Banyak Membaca. Saya suka membaca - Komik, Novel (bukan tinlit-tinlit cengeng dkk) , Majalah, Koran (kadang). Tapi rupanya Pacar saya HOBI membaca, dan Sarapan dia adalah KORAN pagi. Buku profil orang-orang berpengaruh macam Karl Marx sudah dia lahap sejak SD. Mein Gott????? SD sih saya lebih suka baca novel terjemahannya Enid Blyton yang lucu-lucu. Kasus Munir pun dia ikutin saat dia masih SMP sampai kadar Arsenik yang merenggut nyawa pejuang HAM tersebut. Nah saya? memang cukup mengikuti tapi sambil pikiran 1/2 ngerti 1/2 ragu apakah Polycarpus itu sebenarnya (yang ternyata adalah nama orang. Maaf banget, saya benar-benar ngga ngerti saat itu).
Berhubung pacar saya orangnya gemar bercerita dan berbagi juga, jadilah saya serasa memiliki Google dan Wikipedia berjalan. Ngga hanya seputar Indonesia baru-baru ini, sejarah pun dia punya kemampuan TOP. Yang untungnya bisa cukup saya imbangi dengan hasil nilai 9 di rapor semasa Sekolah untuk mata pelajaran Sejarah ini. tapi tetap lho, kalau saya adu cerdas cermat untuk matapelajaran Sejarah, pasti saya kalah telak :(
Baru-baru ini, ada kisah mengenai Andalusia dari Pacar saya saat perjalanan pulang habis nge-date (uhuuy.. :D ) Kata "Andalusia" emang ngga asing buat saya, karena dalam sepak bola, ada istilah derby de la Andalusia. Oh, iya, kami berdua sama-sama maniak Bola. Dia Liverpudlian, saya MILANISTI :D
Di situ saya dapat banyak fakta baru mengenai kejayaan Islam di Spanyol, sampai-sampai membentuk kerajaan. Dan mengapa Alm. Gus Dur menggunakan nama Abdurrachman, karena raja pertama kerajaan Islam di Andalusia bernama Abdurrachman. Saya lupa ada "Wahid" nya juga atau ngga.
Waktu dia melihat saya terbengong-bengong, dia spontan kaget dan tanya "Masa kamu sejarah dulu ngga diajarin????" Sambil malu nan tegas saya bilang "Ngga tuh. Ngga dapat begituan"
Auch... 1 hal lagi yang buat saya kalah point.
Sebentar.. Kok daritadi jadinya kaya membandingkan isi otak saya dengan pacar saya? Hmm.....
Sudahlah, langsung lompat ke maksud saya menulis ini, ya...
Dari situ mulailah kami saling celetuk tentang "daerah asal" masing-masing. Biasa.. membanggakan daerah asal masing-masing dan menghina daerah asal pasangan! Haha...
Beberapa kebiasaan masih 'main tangan' di daerah Timur juga kuungkap, apalagi dari Guru ke Murid yang menurutku kok terbelakang banget caranya. Sementara dia mengungkap kebiasaan "rasan-rasan' yang dia temui hampir seluruh penduduk Surabaya lakukan, bahkan antar teman sendiri.
Kadang-kadang beberapa kesulitan yang dia temui bertabrakan dengan adat budaya dia dan orang Surabaya (baca: Jawa) pada umumnya, seringkali membuat dia nyeletuk "yo gini ini wong Jowo, wong Suroboyo!"
Dia yang mengungkapkan kebiasaan Wong Jowo yang kadang sudah terlalu merasuk di Indonesia, sampai protesnya Kenapa Presiden kudu orang Jawa? sampai ada beberapa hal yang menunjukkan ketidaksukaannya terhadap orang Jawa (padahal pacar dia ada Jawanya tuh! hahahahaaa). Kalau omongannya sudah mulai protes-protes tentang perilaku orang Jawa dan tanah Jawa, saya biasanya suka mengkonfrontasi dengan omongan seperti ini :
Beberapa kebiasaan masih 'main tangan' di daerah Timur juga kuungkap, apalagi dari Guru ke Murid yang menurutku kok terbelakang banget caranya. Sementara dia mengungkap kebiasaan "rasan-rasan' yang dia temui hampir seluruh penduduk Surabaya lakukan, bahkan antar teman sendiri.
Kadang-kadang beberapa kesulitan yang dia temui bertabrakan dengan adat budaya dia dan orang Surabaya (baca: Jawa) pada umumnya, seringkali membuat dia nyeletuk "yo gini ini wong Jowo, wong Suroboyo!"
Dia yang mengungkapkan kebiasaan Wong Jowo yang kadang sudah terlalu merasuk di Indonesia, sampai protesnya Kenapa Presiden kudu orang Jawa? sampai ada beberapa hal yang menunjukkan ketidaksukaannya terhadap orang Jawa (padahal pacar dia ada Jawanya tuh! hahahahaaa). Kalau omongannya sudah mulai protes-protes tentang perilaku orang Jawa dan tanah Jawa, saya biasanya suka mengkonfrontasi dengan omongan seperti ini :
"Halah, kamu bilang Jawa A Jawa B Jawa C, toh yah masih aja kuliah di sini!" "Orang orang tuh aneh, bilang ngga suka sama A, tapi masiihhh aja ada di sekitar A, atau pakai produk dari A" atau "Tuh si Itol yang Arema kadang ngilok-ngilokno Bonek, yoh dia juga kuliah di Surabaya, kerja juga di Surabaya!" atau "Tuh orang-orang yang sok Anti-Indonesia, koar-koar Indonesia malu-maluin lah, apa, lah, tapi toh ya ga angkat kaki juga dari sini! masih buang kencing dan pup di sini, masih makan nasi kerak dari Indonesia" atau "Halaaah.. sama aja sama orang-orang yang koar-koar anti/benci sama ARB, tapi masiih aja nonton TVO*E, masih pakai produk ES*A" dst dst dst.
Saat itu, mulailah dia mengkonfrontasi saya balik dengan kalimat teratur seperti ini, "Lho, kamu pikir orang KTI kenapa kok ke sini? Ya karena semuanya terpusat di sini." "Kenapa emangnya orang-orang daerah Timur lari ke sini semua? Karena segala pembangunan disedot hampir semua ke Jawa sini! Baru-baru ini aja daerah KTI mulai dapat angin segar. ada menteri-menteri yang orang KTI." "Coba dulu, mana bisa kalau bukan orang Jawa?" "Pernah denger omongan orang-orang yang bilang supaya nikah sama orang Jawa aja supaya kariernya nanjak lebih gampang?" "Jangan salahkan banyak orang kawasan Timur yang sebel sama orang Jawa. Bahkan ada di daerah A (saya ga sebut yah), orang Jawa sangat dibatasi geraknya, karena mereka mau memajukan penduduk asli daerahnya." "Coba kamu ke daerah-daerah di Surabaya sini. Pasti ngomongnya harus boso Jowo walaupun pendatang juga harus usaha ngomong Jowo! Tapi kamu kalau ke daerah di Kupang, sebisa mungkin orang aslinya ajak ngomong pakai bahasa Indonesia karena tahu kamu pendatang."
Bener juga, sih. Untuk saya yang darahnya orang pulau, tapi mandek di Kota besar ini kadang kurang mengerti ada apa di luar tanah Jawa yang makmur dan serba ada ini. Fenomena anak-anak kecil mainan emas batangan di Papua pun belum tentu saya tahu kalau bukan karena petualangan jurnalisme saya.
Saya beruntung jadi seorang manusia dengan keturunan banyak daerah di Indonesia dalam darah saya. Dengan begitu saya nggak merem 100% dengan kehidupan di luar tanah Jawa. Yang nggak bisa saya bayangkan itu orang yang hidupnya ya muter di situ-situ aja, dengan pergaulan orang sejenis itu-itu saja.
Ngoook.. Semoga Pembangunan Jawasentris ala Orba bisa mulai diratakan ke semua daerah Indonesia.