Friday, September 24, 2010

It’s All About My Dream!

                Mimpi atau cita-cita pada anak-anak berkaitan erat dengan minat mereka. Jarang sekali anak-anak yang masih sangat kecil (belum lulus Sekolah dasar) sudah memiliki cita-cita yang pasti dan settle. Biasanya, yang mereka jawab saat ditanya “apa cita-cita kamu?” adalah profesi yang stereotype, dalam hal dipengaruhi lingkungannya.
The Sky is the Limit. Photo Doc. Eva Tarida
                Anak-anak cenderung mengenali nama profesi dari lingkungannya, dan yang terdekat adalah orangtuanya. Yang paling mudah mereka ingat adalah pekerjaan kedua orangtuanya. Anak belum mengerti betul detil-detil mengenai sebuah profesi. Maka, saat ia menjawab “pilot!”, ia belum mengerti betul seperti apa tugas-tugas seorang pilot, apa saja kualifikasinya, dan apa saja resikonya. Cobalah bertanya mengapa mereka mau menjadi pilot, mungkin jawabannya seperti ini : “Enak, bisa naik pesawat terus,” atau “Asyik, bisa keliling-keliling.” Karena sekali lagi, mimpi semasa kanak-kanak dipengaruhi oleh minat, jangan kaget kalau anak akan merubah cita-citanya beberapa kali.

Pentingnya melakukan Dream Setting / Career Planning
                Sangat penting bagi orangtua untuk membiasakan diri mengenalkan berbagai macam profesi pada anak sedari dini. Jangan merasa anak masih terlalu kecil, atau membiarkan anak mengetahuinya sendiri. Yang terpenting sebagai orangtua adalah tidak memaksakan kehendak, idealisme, dan ambisinya sendiri pada anak.
Photo doc. Eva Tarida
               Sedari anak masih kecil, biarkan anak mengenali potensi dan minatnya sebanyak-banyaknya. Hal ini sangat penting agar anak memiliki arahan dalam hidup dan mengerti bahwa hidup itu tidak mengalir begitu saja seperti air. Karena, bila anak berjalan begitu saja tanpa arahan akan tidak efektif dan kurang motivasi. Dengan adanya arahan tertentu, anak akan termotivasi dan mempunyai semangat tersendiri untuk mencapai yang diinginkan.

Saat yang Ideal Untuk Mulai Membicarakannya
                Di indonesia, masih cukup terlambat seorang anak menetukan cita-citanya. Coba saja kita bertanya pada anak yang sudah SMA, belum tentu ia bisa menjawab apa cita-citanya. Jarang sekali seorang anak benar-benar tahu mau jadi apa dia nantinya, jurusan apa yang akan ia ambil selama kuliah, dan sebagainya. Fenomenanya adalah, anak mengikuti kehendak orangtua, memilih berdasarkan ’keputusan bersama’ alias ikut-ikut teman, bahkan hanya mengikuti tren yang ada saat itu.
                Lebih awal kita mengomunikasikan hal ini pada anak, maka akn lebih baik. Mulailah membiasakannya saat anak mencapai usia ia bisa berpikir dan menetukan sesuatu sendiri, seperti di usia 4-5 tahun. Tetap ingat, jangan memaksakan kehendak, atau menanamkan idealisme dan ambisi Anda pada anak. Kenali potensi anak secara obyektif. Bisa dengan cara membiarkan anak mencoba beberapa hal, atau memperkenalkan berbagai bidang pekerjaan dan hobi. Setelah itu, orangtua dapat melihat, di bidang apa anak terlihat paling cepat bisa dan paling tertarik.
                Berikan gambaran sederhana mengenai profesi dari keseharian kita. Misalnya, saat Anda dan anak pergi ke dokter, perkenalkanlah pekerjaan tersebut pada anak. Berceritalah. Ada beberapa macam jenis dokter, seperti dokter anak, dan dokter gigi.kemudian, katakan juga, ”Kalau mau jadi dokter, adik harus tahan lihat darah dan luka, lho. Selain itu, adik juga jarang liburan. Soalnya, orang sakit kan nggaklibur, Dik.” Atau profesi yang jarang diminati anak seperti hakim, pengacara, dan jaksa. Saat Anda dan anak sedang melihat acara di televisi yang memperlihatkan tayangan pengadilan, mulailah bercerita sedikit, seperti apa itu pengadilan. Siapa saja yang ada di sana.  Beritahukan pula syarat-syaratnya, ”Kalau Adik mau jadi hakim atau pengacara, adik harus punya daya hafal yang kuat. Adik juga perlu punya kemampuan ngomong yang bagus dan banyak logikanya.” Jangan lupa untuk juga memperkenalkan profesi orangtua sendiri. Ini akan lebih mudah, karena anak dapat melihat langsung bagaimana orangtuanya bekerja.
                Sejak anak berusia 3 tahun, ajak mereka mengenali profesi dengan bermain-main di lokasi bermain yang menyediakan wahana untuk simulasi. Dengan adanya wahana simulasi untuk belajar tersebut, anak dapat dengan sendirinya mengerti berbagai macam profesi. Perkenalkan berbagai bidang pada anak, dan lihat di bidang mana anak cepat belajar dan nyaman di sana.
                Ingatlah, bahwa ini semua merupakan sebuah proses, dengan tujuan pada saat anak akan memilih suatu profesi nantinya, sesuai dengan minat dan bakatnya, dan tidak asal dalam memilih. 
Reach for the Sky. Photo Doc. Eva Tarida
                 Pada saat anak sudah menentukan apa yang diminatinya, atau profesi apa yang dipilihnya untuk dijalani, orangtua harus membimbing anak untuk dapat fleksibel. Dalam artian, bisa saja apa yang diinginkan anak itu tidak terpenuhi. Misalnya saja, anak ingin menjadi pilot. Tetap dukung anak Anda, sambil bicarakan pada mereka, ”Bagaimana kalau Tuhan tidak mengizinkan Adik jadi pilot?. Mama dan papa setuju saja, dan kita semua akan berusaha bersama agar Adik bisa jadi pilot. Tapi, belum tentu itu yang terbaik untuk Adik. Kalau ternyata suatu hari nanti, Adik tidak bisa jadi pilot, berarti, ada profesi lain yang lebih baik yang sudah direncanakan untuk Adik.” jadi, jangan membiarkan anak juga hanya terpaku kaku pada satu saja. Usahakan ada alternativ lain. Namun tentu saja, tetap sesuai dengan keinginan anak, dan tidak asal pilih. (eva tarida)
Narasumber : Dra. Lisa Narwastu

*posting ini merupakan artikel saya yang pernah dimuat di Majalah Toddie

Pa, Ma, Aku Boleh Berpendapat, Nggak?

                Mendengar anak mulai mengeluarkan suara dan bicara tentu saja hal yang sangat menggembirakan dan ditunggu-tunggu oleh para orangtua. Walaupun kata yang diucapkannya belum sempurna, atau hanya sepatah saja. Tapi, seiring bertambahnya usia anak, dan saat mereka makin lancar berbicara, orangtua justru sering mengabaikan pendapat anak. Sering kan kalimat seperti ini keluar, “Aduh, tahu apa kamu. Kamu tuh masih kecil.” Dan kalimat-kalimat lain yang menyejajarkan pendapat anak kita dengan orang dewasa.

Hak Untuk Berpendapat
                Mungkin, tidak pernah kita ketahui, bahwa tiap anak terlahir dengan hak untuk bebas berpendapat. Hal ini pun tercantum dalam Konvensi Hak Anak tahun 1989. Selain itu, Hak berpendapat anak merupakan satu-satunya hak dari sepuluh hak anak yang telah diakui secara internasional dalam CRC.
                 Anak yang sehat, baik jiwa dan raganya adalah mereka yang tumbuh dengan kebebasan hak berpendapat. Ironisnya, banyak anak yang tidak mendapatkan hak tersebut. Kadang, orangtua merasa lebih tahu yang terbaik untuk anak-anaknya. Hal inilah yang paling sering menyebabkan pendapat anak diabaikan. Mungkin ini hal kecil, namun tanpa disadari, orangtua telah merampas hak anak untuk berpendapat.
Saling Berbagi Pendapat. (Photo Doc. Eva Tarida)
                 Seringkali, pandangan bahwa anak belum dapat memberikan aspirasi bagi dirinya sendiri ini membatasi kebebasan anak untuk berpendapat. Bisa jadi karena kesulitan anak untuk berkomunikasi secara verbal dan langsung pada orangtuanya. Namun, sebenarnya, tiap anak memiliki caranya masing-masing untuk menyampaikan pendapatnya. Ada anak yang menggunakan bahasa tubuh, mungkin dengan cemberut atau menggelengkan kepala saat tidak mau atau tidak setuju. Menggunakan bahasa gambar, atau bahasa-bahasa lain yang kurang kita pahami sebagai orang dewasa.

Jadikan Anak Subyek, Bukan Obyek
                Posisikan anak sama dengan kita. Mereka juga pasti dapat berpendapat, walaupun dengan cara mereka sediri. Dengan begitu, kita akan mampu mendengar pendapat anak yang disejajarkan dengan pendapat orang dewasa. Hal ini tidak hanya harus dipraktikan oleh orangtua, namun juga oleh semua pihak yang terkait, seperti rekan-rekan, saudara, bahkan sampai guru-guru mereka.
                Secara Undang-Undang, memang hak anak untuk ikut serta dalam pemilihan dimulai setelah memasuki usia tertentu, namun hak anak untuk berpendapat sudah ada sejak kecil. Ini berarti, tiap-tiap anak dapat mengekspresikan apa yang ada dalam benak mereka dengan bebas. 
Menyimak Saat Orang Lain Mengutarakan Pendapat. (Photo Doc. Eva Tarida)
                 Ikut sertakan anak dalam proses pengambilan keputusan dalam keluarga. Memang eksekusi terakhir ada di tangan kepala keluarga, namun pertimbangkan pula apa yang dipikirkan anak. Seringkali, orangtua kurang memperhatikan pendapat anak sehingga ada beberapa hal yang seharusnya dimiliki anak menjadi tidak terpenuhi. Contohnya saja, saat Anda memutuskan untuk pindah rumah, berikanlah alternatif lokasinya pada anak. Dengarkan pula pendapatnya, dan tanyakan mengapa. Bisa jadi, Anda lebih sreg dengan rumah di lokasi A, namun anak memilih lokasi B, dengan alasan ada taman bermainnya, atau ada tanah lapang untuk lahan anak bermain. Dengan berkomunikasi, Anda bisa mengerti apa yang dibutuhkan anak Anda. Anda tak ingin kan, suatu kali melihat anak Anda terpaksa bermain layangan di jalan raya gara-gara lokasi rumah Anda yang tidak memiliki lahan bermain.

Apa Sih, Dampaknya?
                Ada dampak tersendiri bagi anak yang haknya tidak terpenuhi.
  • Berkembang dengan tidak wajar. Karena ia terbiasa untuk selalu diam dan menyimpan saja semua gagasannya.
  •  Potensi dalam dirinya terhambat. Tanpa kita sadari, bisa jadi, gagasan dan pendapat yang disampaikan oleh anak berkaitan dengan keinginannya akan masa depannya. Dengan kita merampas kebebasan berpendapatnya, potensi anak yang sesungguhnya telah terkubur dalam dirinya sendiri tanpa dapat berkembang
  • Gagap berbicara. Sedikit berbicara saja langsung mendapat sanggahan dari orangtua, membuat anak tidak terbiasa bercakap-cakap dengan baik dan menyampaikan gagasannya dengan baik. ini akan berpengaruh pada kemampuannya berbicara nantinya. Juga kemampuannya dalam menyampaikan pendapat sampai ia besar nanti.
  • Memendam perasaan. Bisa jadi, seumur hidup kita, kita tidak pernah tahu isi hati anak. Secara tidak langsung akan merenggangkan hubungan kita dengan anak. Hubungan tidak harmonis pun dapat terjadi. Ini karena kita tidak pernah belajar untuk memasang telinga mendengarkan pendapat anak. (eva tarida)
Sumber : Bu Lisa Narwastu (Psikolog); Dari berbagai sumber

*Posting karya saya ini merupakan artikel saya yang pernah dimuat di Majalah Toddie

Sharing, Tidak Hanya Sekedar Materi


                Dalam kehidupan, manusia adalah makhluk social, zoon politicon istilah lainnya. Dengan jelas, semasa kita masih Sekolah Dasar dulu, ditekankan bahwa manusia tidak dapat hidup tanpa orang lain. Sederhana saja, mau makan, kita butuh bahan makanan. Beli di mana? Di pasar, atau supermarket, yang tentu saja sudah ada orang lain yang menyediakannya. Tinggal melakukan transaksi jual-beli di sana. Jual beli? Bagaimana kalau idak ada yang berjualan? Tentu kita akan kesusahan unuk mendapatkan bahan makanan. Mungkin kita putuskan untuk beli makanan jadi atau ke restoran. Kembali lagi, makanan jadi dan restoran itu sudah disediakan oleh orang lain. Kita tinggal memanfaatkan jasa dan barang yang mereka tawarkan. Demikian pula sebaliknya, para penjual tesebut juga membutuhkan pembeli seperti kita untuk mendapatkan hasil dari usaha mereka. Karena begitu pentingnya sesama dalam kehidupan kita, penting sekali untuk berbagi dengan sesama.

Sharing. (Photo Doc. Eva Tarida)
 How To Share
                Ani (5 tahun) sedang bermain di dengan rumahnya dengan beberapa orang teman sambil membawa sebungkus biscuit favoritnya. Sambil terus bermain dan menikmati biskuitnya, tiba-tiba, Dina, teman Ani meminta biscuit pada Ani. Ani melirik sejenak ke dalam bungkusannya, dan ternyata hanya sisa satu buah biscuit di dalamnya. Lantas, apa yang sebaiknya dilakukan oleh Ani? Ani masih anak-anak, dan kadangkala rasa memiliki dan egoisnya sangat besar. Agak susah mungkin untuk berbagi, apalagi bila hanya ada satu dalam genggaman. Pikiran sederhana, bahwa saat kita membagikan sesuatu, maka yang kita miliki akan berkurang. Padahal tidak selalu seperti itu. Misalnya saja, saat itu Ani memberikan satu buah biscuit itu pada Dina, bukan tidak mungkin di kemudian hari Dina membalas dengan memberika biscuit pula atau malah lebih. Bisa juga, orangtua Ani yang mengetahui kebesaran hati anaknya akan memberi apresiasi dengan cara memuji, atau memberi biscuit lain pada Ani. Dalam hal ini, pujian, rasa terima kasih, dan balasan berupa benda adalah ‘tambahan’ yang berharga.
                Berbagi berarti kita tidak memiliki itu sendiri. Sesuatu ini memang punya saya, tapi kalau ada orang lain yang membutuhkan, saya siap untuk berbagi, dengan cara meminjamkan, membaginya, atau bahkan memberikannya.
                Dalam konsep berbagi, kita jangan menyempitkan pikiran kita hanya pada materi. Ani mungkin masih anak-anak dan belum mengerti, namun kita sebagai orang tua harus menanamkan pikiran untuk mau saling berbagi pada anak sedari dini. Yang terpenting, orang tua harus memberikan contoh yang baik dan benar juga untuk berbagi.

What to Share
                Tidak hanya materi yang dapat dibagikan pada sesama, atau anak kita. Cerita, pengalaman, waktu juga dapat dibagikan. Bila kita terbiasa membagi waktu kita untuk selalu memberi saat-saat tertentu berbagi kisah hari ini dengan anak, maka anak juga akan terbiasa dengan sendirinya terbiasa untuk berbagi. Jangan kaget kalau suatu hari, sepulang dari sekolah, anak Anda bisa langsung berteriak masuk ke dalam rumah dan menceriterakan kegiatannya hari itu di sekolah. Dengarkan dulu, baru setelah itu sambil ngobrol dengan anak, Anda minta dia untuk berganti pakaian, dan sebagainya.
                Sekali-kali jangan menolak atau menghalangi anak untuk berbagi. Kadang, saat anak mau membagikan kue atau permennya pada orang tuanya, orang tua cenderung menolak halus dengan berkata, “Nggak usah, buat adek aja,” misalnya. Terima saja pemberiannya atau dengarkan dulu ceritanya sambil memberikan respon tentunya. Dengan begitu anak akan merasa senang karena diperhatikan, dan mereka akan merasa bahwa berbagi itu menyenangkan.

Sharing is Easy
                Anak juga harus dibiasakan untuk berbagi dengan saudaranya. Ada langkah mudah untuk membiasakannya, yaitu dengan mengurangi jatah mereka. Misalnya, mereka 2 bersaudara, maka tak harus selalu membelikan dua buah mainan. Cukup belikan sesuatu dan ajarkan pada mereka untuk menggunakannya bergantian atau bersama-sama. Biarkan mereka berdua membuat kesepakatan sendiri. Tentu saja, orang tua bisa juga ikut campur untuk membantu membuat kesepakatan bila anak bingung dalam membuat kesepakatan tersebut. Langsung berikan contoh tindakan untuk berbagi, karena anak yang masih kecil belum mengerti apa itu konsep berbagi (mainan, misalnya).
Share the Joy Together with Friends. (Photo Doc. Eva Tarida)
                Jadikan pula pembelajaran untuk berbagi ini sebagai ajang belajar sederhana. Misalnya, ada tiga orang anak di rumah. Sediakan satu buah roti dengan ukuran cukup besar. Cobalah berikan pada mereka, dan biarkan mereka bertiga berpikir dan menentukan bagaimana membagi satu buah roti ini untuk bertiga.
Berbagi itu mudah, asal orang tua selalu membiasakannya sedari kecil, dan member contoh yang baik pada anak. Dengan berbagi kita dapat menyenangkan orang lain, membuat orang lain merasa nyaman, diperhatikan, dihargai, dan diterima.(eva tarida)
Narasumber : Ibu Sandrawati (Psikolog Anak); Dari Berbagai Sumber
*PS: Artikel buatan saya ini sudah pernah di Majalah Toddie
               

Wednesday, September 15, 2010

Again, Trip to Jogja

The Family at Borobudur Temple
perhaps I should talk to my daddy personally, and get to know why he loved to go to Jogja.. You know, it's been the third Eid Holiday we went to Jogjakarta! Oh-Wow...
When we did the other 2? At 2009 Eid, and 2008 Eid Holiday. Clear already?

Lagu "Bang Toyib" itu sepertinya bisa kugubah sedikit, lah..
"3 kali Lebaran, kami ke Jogja slaluuu...."
HAHAHAHAHAHAHAAA....

This time holiday wasn't so special. What else can I say.. 3 years aligned been there.. hahaaaa..But really, still have a really fun there :) This time, we went to Parangtritis (which didn't happen in other 2 holiday before :p ). And thx God, I got tanned!!! OH MY.....
Playing with the Waves at Parangtritis Beach

We are all 7 together, my Dad, my Mom, me and two sisters, my Boyfriend, then my close friend, Boby. Thanks to Prangtritis again, so Boby lost his glasses! haha twas all his fault actually.. no one will ever suggest you to playing with big waves with the glasses on! Am I right? :)
Beside this South Beach, the other destinations were still the same, such as Borobudur temple, Prambanan Temple, Monumen Jogja Kembali, Kraton, and others.
Andong Vacay at Parangtritis Beach
 What I dislike from this time holiday was the rain! this rain always came on evening. And guess what, we missed all the nighty fun! :( too bad...
Kereta Kencana, Salah Satu Kereta di Museum Kereta, Jogja

one night, we were planned to go to Malioboro, actually our last night there. For the weather on day was good, so we went to Malioboro at the evening. and VOILA.. rain dropped again... OH MY! because of that, the traffic jam suddenly along with us! see.. from the hotel to Malioboro (which is just 15 min trip) become 2 hours!! For just a parking lot...!! Imagine..
Night was already late, and we missed certain things we actually ran after that last night..
Fyuuhh..
after few hours there, we decided to drove back hotel. We stopped at a minimart and, yuhuuu a small earthquake said "hello".. well, that's new! haha..
Thx God the earthquake just about 15 seconds, and almost unfelt..
The Family with the Giant Gong

alright then, our last day was to visit Prambanan temple, the Hindu's Temple. I always amazed by these 2 temples (Borobudur and Prambanan). In my very own Opinion, These temples worth a lot more to become World Wonders than just an Eiffel! I mean it! I mean, take a look at their sizes, their ages, their years of made!! much more better!!!
Prambanan Temple















enough for grumbling..
and we took 14 hours to reached Surabaya... HAHA! ;)
wonder will daddy take us again to Jogja for 2011 Eid Holiday?? We'll see...

Photos courtessy : Eva Tarida / Eunike Narulita