Friday, September 24, 2010

Pa, Ma, Aku Boleh Berpendapat, Nggak?

                Mendengar anak mulai mengeluarkan suara dan bicara tentu saja hal yang sangat menggembirakan dan ditunggu-tunggu oleh para orangtua. Walaupun kata yang diucapkannya belum sempurna, atau hanya sepatah saja. Tapi, seiring bertambahnya usia anak, dan saat mereka makin lancar berbicara, orangtua justru sering mengabaikan pendapat anak. Sering kan kalimat seperti ini keluar, “Aduh, tahu apa kamu. Kamu tuh masih kecil.” Dan kalimat-kalimat lain yang menyejajarkan pendapat anak kita dengan orang dewasa.

Hak Untuk Berpendapat
                Mungkin, tidak pernah kita ketahui, bahwa tiap anak terlahir dengan hak untuk bebas berpendapat. Hal ini pun tercantum dalam Konvensi Hak Anak tahun 1989. Selain itu, Hak berpendapat anak merupakan satu-satunya hak dari sepuluh hak anak yang telah diakui secara internasional dalam CRC.
                 Anak yang sehat, baik jiwa dan raganya adalah mereka yang tumbuh dengan kebebasan hak berpendapat. Ironisnya, banyak anak yang tidak mendapatkan hak tersebut. Kadang, orangtua merasa lebih tahu yang terbaik untuk anak-anaknya. Hal inilah yang paling sering menyebabkan pendapat anak diabaikan. Mungkin ini hal kecil, namun tanpa disadari, orangtua telah merampas hak anak untuk berpendapat.
Saling Berbagi Pendapat. (Photo Doc. Eva Tarida)
                 Seringkali, pandangan bahwa anak belum dapat memberikan aspirasi bagi dirinya sendiri ini membatasi kebebasan anak untuk berpendapat. Bisa jadi karena kesulitan anak untuk berkomunikasi secara verbal dan langsung pada orangtuanya. Namun, sebenarnya, tiap anak memiliki caranya masing-masing untuk menyampaikan pendapatnya. Ada anak yang menggunakan bahasa tubuh, mungkin dengan cemberut atau menggelengkan kepala saat tidak mau atau tidak setuju. Menggunakan bahasa gambar, atau bahasa-bahasa lain yang kurang kita pahami sebagai orang dewasa.

Jadikan Anak Subyek, Bukan Obyek
                Posisikan anak sama dengan kita. Mereka juga pasti dapat berpendapat, walaupun dengan cara mereka sediri. Dengan begitu, kita akan mampu mendengar pendapat anak yang disejajarkan dengan pendapat orang dewasa. Hal ini tidak hanya harus dipraktikan oleh orangtua, namun juga oleh semua pihak yang terkait, seperti rekan-rekan, saudara, bahkan sampai guru-guru mereka.
                Secara Undang-Undang, memang hak anak untuk ikut serta dalam pemilihan dimulai setelah memasuki usia tertentu, namun hak anak untuk berpendapat sudah ada sejak kecil. Ini berarti, tiap-tiap anak dapat mengekspresikan apa yang ada dalam benak mereka dengan bebas. 
Menyimak Saat Orang Lain Mengutarakan Pendapat. (Photo Doc. Eva Tarida)
                 Ikut sertakan anak dalam proses pengambilan keputusan dalam keluarga. Memang eksekusi terakhir ada di tangan kepala keluarga, namun pertimbangkan pula apa yang dipikirkan anak. Seringkali, orangtua kurang memperhatikan pendapat anak sehingga ada beberapa hal yang seharusnya dimiliki anak menjadi tidak terpenuhi. Contohnya saja, saat Anda memutuskan untuk pindah rumah, berikanlah alternatif lokasinya pada anak. Dengarkan pula pendapatnya, dan tanyakan mengapa. Bisa jadi, Anda lebih sreg dengan rumah di lokasi A, namun anak memilih lokasi B, dengan alasan ada taman bermainnya, atau ada tanah lapang untuk lahan anak bermain. Dengan berkomunikasi, Anda bisa mengerti apa yang dibutuhkan anak Anda. Anda tak ingin kan, suatu kali melihat anak Anda terpaksa bermain layangan di jalan raya gara-gara lokasi rumah Anda yang tidak memiliki lahan bermain.

Apa Sih, Dampaknya?
                Ada dampak tersendiri bagi anak yang haknya tidak terpenuhi.
  • Berkembang dengan tidak wajar. Karena ia terbiasa untuk selalu diam dan menyimpan saja semua gagasannya.
  •  Potensi dalam dirinya terhambat. Tanpa kita sadari, bisa jadi, gagasan dan pendapat yang disampaikan oleh anak berkaitan dengan keinginannya akan masa depannya. Dengan kita merampas kebebasan berpendapatnya, potensi anak yang sesungguhnya telah terkubur dalam dirinya sendiri tanpa dapat berkembang
  • Gagap berbicara. Sedikit berbicara saja langsung mendapat sanggahan dari orangtua, membuat anak tidak terbiasa bercakap-cakap dengan baik dan menyampaikan gagasannya dengan baik. ini akan berpengaruh pada kemampuannya berbicara nantinya. Juga kemampuannya dalam menyampaikan pendapat sampai ia besar nanti.
  • Memendam perasaan. Bisa jadi, seumur hidup kita, kita tidak pernah tahu isi hati anak. Secara tidak langsung akan merenggangkan hubungan kita dengan anak. Hubungan tidak harmonis pun dapat terjadi. Ini karena kita tidak pernah belajar untuk memasang telinga mendengarkan pendapat anak. (eva tarida)
Sumber : Bu Lisa Narwastu (Psikolog); Dari berbagai sumber

*Posting karya saya ini merupakan artikel saya yang pernah dimuat di Majalah Toddie

2 comments:

  1. tapi biasanya ini juga akibat pendidikan pas sekolah dimana guru tidak ingin mendengar muridnya berpendapat.jadinya ya para siswa2 lebih bersifat pasif. :-)

    ReplyDelete
  2. masuk akal. Tapi, kalau sekolah mungkin bs lebih aktif. Ini perihal dimulai sejak dalam masyarakat terkecil, yaitu keluarga. Peran orangtua lah yang akan menentukan sikap anak nantinya.

    ReplyDelete

Thank you for dropping your thoughts here!