Sedang explore Facebook saya, dan sampai di salah satu profil teman saya, bul-bul. Di sana ada Notes yang menarik hati :) Yang tampaknya juga dia share dari tempat lain.
Saya mau bagikan di sini:
Sebelum Kamu Menceraikan Aku, Boponglah Aku!
by Setitik Embun Inspirasi on Sunday, August 7, 2011 at 11:05pm ·
Pada
hari pernikahanku,aku membopong istriku. Mobil pengantin berhenti di
depan flat kami yang cuma berkamar satu. Sahabat-sahabatku menyuruhku
untuk membopongnya begitu keluar dari mobil. Jadi kubopong ia memasuki
rumah kami. Ia kelihatan malu-malu. Aku adalah seorang pengantin pria
yang sangat bahagia. Ini adalah kejadian 10 tahun yang lalu.
Hari-hari
selanjutnya berlalu demikian simpel seperti secangkir air bening. Kami
mempunyai seorang anak, saya terjun ke dunia usaha dan berusaha untuk
menghasilkan banyak uang. Begitu kemakmuran meningkat, jalinan kasih
diantara kami pun semakin surut. Ia adalah pegawai sipil. Setiap pagi
kami berangkat kerja bersama-sama dan sampai di rumah juga pada waktu
yang bersamaan.
Anak kami sedang belajar di luar negeri.
Perkawinan kami kelihatan bahagia. Tapi ketenangan hidup berubah
dipengaruhi oleh perubahan yang tidak kusangka-sangka. Dewi hadir dalam
kehidupanku. Waktu itu adalah hari yang cerah. Aku berdiri di balkon
dengan Dewi yang sedang merangkulku. Hatiku sekali lagi terbenam dalam
aliran cintanya. Ini adalah apartment yang kubelikan untuknya. Dewi
berkata , “Kamu adalah jenis pria terbaik yang menarik para gadis.”
Kata-katanya tiba-tiba mengingatkanku pada istriku. Ketika kami baru
menikah,istriku pernah berkata, “Pria sepertimu,begitu sukses,akan
menjadi sangat menarik bagi para gadis.” Berpikir tentang ini, Aku
menjadi ragu-ragu. Aku tahu kalo aku telah menghianati istriku. Tapi
aku tidak sanggup menghentikannya. Aku melepaskan tangan Dewi dan
berkata, “Kamu harus pergi membeli beberapa perabot, O.K.?.Aku ada
sedikit urusan di kantor” Kelihatan ia jadi tidak senang karena aku
telah berjanji menemaninya.
Pada saat tersebut, ide
perceraian menjadi semakin jelas dipikiranku walaupun kelihatan tidak
mungkin. Bagaimanapun,aku merasa sangat sulit untuk membicarakan hal ini
pada istriku. Walau bagaimanapun ku jelaskan, ia pasti akan sangat
terluka. Sejujurnya,ia adalah seorang istri yang baik. Setiap malam ia
sibuk menyiapkan makan malam. Aku duduk santai didepan TV. Makan malam
segera tersedia. Lalu kami akan menonton TV sama-sama. Atau aku akan
menghidupkan komputer, membayangkan tubuh Dewi. Ini adalah hiburan
bagiku.
Suatu hari aku berbicara dalam guyon, “Seandainya
kita bercerai, apa yang akan kau lakukan?” Ia menatap padaku selama
beberapa detik tanpa bersuara. Kenyataannya ia percaya bahwa perceraian
adalah sesuatu yang sangat jauh darinya. Aku tidak bisa membayangkan
bagaimana ia akan menghadapi kenyataan jika tahu bahwa aku serius.
Ketika
istriku mengunjungi kantorku, Dewi baru saja keluar dari ruanganku.
Hampir seluruh staff menatap istriku dengan mata penuh simpati dan
berusaha untuk menyembunyikan segala sesuatu selama berbicara dengan
ia. Ia kelihatan sedikit kecurigaan. Ia berusaha tersenyum pada
bawahan-bawahanku. Tapi aku membaca ada kelukaan di matanya.
Sekali
lagi, Dewi berkata padaku,” He Ning, ceraikan ia, O.K.? Lalu kita akan
hidup bersama.” Aku mengangguk. Aku tahu aku tidak boleh ragu-ragu lagi.
Ketika
malam itu istriku menyiapkan makan malam, ku pegang tangannya,”Ada
sesuatu yang harus kukatakan” Ia duduk diam dan makan tanpa bersuara.
Sekali lagi aku melihat ada luka di matanya. Tiba-tiba aku tidak tahu
harus berkata apa. Tapi ia tahu kalo aku terus berpikir. “Aku ingin
bercerai”, kuungkapkan topik ini dengan serius tapi tenang.
Ia
seperti tidak terpengaruh oleh kata-kataku, tapi ia bertanya secara
lembut,”kenapa?” Aku menghindari pertanyaannya “Kenapa” dan hanya jawab:
“Aku serius.” . Jawaban ini membuat ia sangat marah. Ia melemparkan
sumpit dan berteriak kepadaku,”Kamu bukan laki-laki!”.
Pada
malam itu, kami sekali saling membisu. Ia sedang menangis. Aku tahu
kalau ia ingin tahu apa yang telah terjadi dengan perkawinan kami. Tapi
aku tak bisa memberikan jawaban yang memuaskan sebab hatiku telah dibawa
pergi oleh Dewi. Dengan perasaan yang amat bersalah, Aku menuliskan
surat perceraian dimana istriku memperoleh rumah, mobil dan 30% saham
dari perusahaanku. Ia memandangnya sekilas dan mengoyaknya jadi beberapa
bagian.
Aku merasakan sakit dalam hati. Wanita yang telah
10 tahun hidup bersamaku sekarang menjadi seorang yang asing dalam
hidupku. Tapi aku tidak bisa mengembalikan apa yang telah kuucapkan.
Akhirnya ia menangis dengan keras di depanku, dimana hal tersebut tidak
pernah kulihat sebelumnya. Bagiku, tangisannya merupakan suatu
pembebasan untukku. Ide perceraian telah menghantuiku dalam beberapa
minggu ini dan sekarang sungguh-sungguh telah terjadi.
Pada larut
malam,aku kembali ke rumah setelah menemui klienku. Aku melihat
isteriku sedang menulis sesuatu. Karena capek aku segera ketiduran.
Ketika aku terbangun tengah malam, aku melihat ia masih menulis. Aku
tertidur kembali. Ia menuliskan syarat-syarat dari perceraiannya. Ia
tidak menginginkan apapun dariku,tapi aku harus memberikan waktu sebulan
sebelum menceraikannya, dan dalam waktu sebulan itu kami harus hidup
bersama seperti biasanya. Alasannya sangat sederhana: Anak kami akan
segera menyelesaikkan pendidikannya dan liburannya adalah sebulan lagi
dan ia tidak ingin anak kami melihat kehancuran rumah tangga kami.
Ia
menyerahkan persyaratan tersebut dan bertanya,” He Ning, apakah kamu
masih ingat bagaimana aku memasuki rumah kita ketika pada hari
pernikahan kita?” Pertanyaan ini tiba-tiba mengembalikan beberapa
kenangan indah kepadaku. Aku mengangguk dan mengiyakan. “Kamu
membopongku di lenganmu”, katanya, “Jadi aku punya sebuah permintaan,
yaitu kamu akan tetap membopongku pada waktu perceraian kita. Dari
sekarang sampai akhir bulan ini, setiap pagi kamu harus membopongku
keluar dari kamar tidur ke pintu.” Aku menerima dengan senyum. Aku tahu
ia merindukan beberapa kenangan indah yang telah berlalu dan berharap
perkawinannya diakhiri dengan suasana romantis.
Aku
memberitahukan Dewi soal syarat-syarat perceraian dari istriku. Ia
tertawa keras dan berpikir itu tidak ada gunanya.“Bagaimanapun trik yang
ia lakukan, ia harus menghadapi hasil dari perceraian ini,” ia
mencemooh. Kata-katanya membuatku merasa tidak enak.
Istriku
dan aku tidak mengadakan kontak badan lagi sejak kukatakan perceraian
itu. Kami saling menganggap orang asing. Jadi ketika aku membopongnya
di hari pertama, kami kelihatan salah tingkah. Anak kami menepuk
punggung kami, ”Wah, papa membopong mama, mesra sekali” Kata-katanya
membuatku merasa sakit. Dari kamar tidur ke ruang duduk, lalu ke pintu,
aku berjalan 10 meter dengan ia dalam lenganku. Ia memejamkan mata dan
berkata dengan lembut,” Mari kita mulai hari ini, jangan memberitahukan
pada anak kita.” Aku mengangguk, merasa sedikit bimbang. Aku melepaskan
ia di pintu. Ia pergi menunggu bus, dan aku pergi ke kantor.
Pada
hari kedua, bagi kami terasa lebih mudah. Ia merebah di dadaku, kami
begitu dekat sampai-sampai aku bisa mencium wangi dibajunya. Aku
menyadari bahwa aku telah sangat lama tidak melihat dengan mesra wanita
ini. Aku melihat bahwa ia tidak muda lagi, beberapa kerut tampak di
wajahnya.
Pada hari ketiga, ia berbisik padaku, “Kebun diluar sedang dibongkar, hati-hati kalau kamu lewat sana.”
Hari
keempat, ketika aku membangunkannya, aku merasa kalau kami masih mesra
seperti sepasang suami istri dan aku masih membopong kekasihku di
lenganku. Bayangan Dewi menjadi samar.
Pada hari kelima
dan enam, ia masih mengingatkan aku beberapa hal, seperti, dimana ia
telah menyimpan baju-bajuku yang telah ia setrika, aku harus hati-hati
saat memasak,dll. Aku mengangguk. Perasaan kedekatan terasa semakin
erat.
Aku tidak memberitahu Dewi tentang ini. Aku merasa begitu
ringan membopong-nya. Berharap setiap hari pergi ke kantor bisa
membuatku semakin kuat. Aku berkata padanya, “Kelihatannya tidaklah
sulit membopongmu sekarang”
Ia sedang mencoba pakaiannya,
aku sedang menunggu untuk membopongnya keluar. Ia berusaha mencoba
beberapa tapi tidak bisa menemukan yang cocok. Lalu ia melihat,”Semua
pakaianku kebesaran”. Aku tersenyum.Tapi tiba-tiba aku menyadarinya
sebab ia semakin kurus itu sebabnya aku bisa membopongnya dengan ringan
bukan disebabkan aku semakin kuat. Aku tahu ia mengubur semua
kesedihannya dalam hati. Sekali lagi, aku merasakan perasaan sakit.
Tanpa sadar kusentuh kepalanya. Anak kami masuk pada saat tersebut. “Pa,
sudah waktunya membopong mama keluar” Baginya, melihat papanya sedang
membopong mamanya keluar menjadi bagian yang penting. Ia memberikan
isyarat agar anak kami mendekatinya dan merangkulnya dengan erat. Aku
membalikkan wajah sebab aku takut aku akan berubah pikiran pada detik
terakhir. Aku menyanggah ia di lenganku, berjalan dari kamar tidur,
melewati ruang duduk ke teras. Tangannya memegangku secara lembut dan
alami. Aku menyanggah badannya dengan kuat seperti kami kembali ke hari
pernikahan kami. Tapi ia kelihatan agak pucat dan kurus, membuatku
sedih.
Pada hari terakhir, ketika aku membopongnya di
lenganku, aku melangkah dengan berat. Anak kami telah kembali ke
sekolah. Ia berkata, “Sesungguhnya aku berharap kamu akan membopongku
sampai kita tua”. Aku memeluknya dengan kuat dan berkata “Antara kita
saling tidak menyadari bahwa kehidupan kita begitu mesra”.
Di
depan rumah Dewi, aku melompat turun dari mobil tanpa sempat
menguncinya. Aku takut keterlambatan akan membuat pikiranku berubah. Aku
menaiki tangga. Dewi membuka pintu. Aku berkata padanya,” Maaf Dewi,
aku tidak ingin bercerai. Aku serius”. Ia melihat kepadaku, kaget. Ia
menyentuh dahiku. “Kamu tidak demam”. Kutepiskan tangannya dari dahiku
“Maaf, Dewi,Aku cuma bisa bilang maaf padamu, aku tidak ingin bercerai.
Kehidupan rumah tanggaku membosankan disebabkan ia dan aku tidak bisa
merasakan nilai-nilai dari kehidupan, bukan disebabkan kami tidak saling
mencintai lagi. Sekarang aku mengerti sejak aku membopongnya masuk ke
rumahku, ia telah melahirkan anakku. Aku akan menjaganya sampai tua.
Jadi aku minta maaf padamu” Dewi tiba-tiba seperti tersadar. Ia
memberikan tamparan keras kepadaku dan menutup pintu dengan kencang dan
tangisannya meledak.
Aku menuruni tangga dan pergi ke
kantor. Dalam perjalanan aku melewati sebuah toko bunga, ku pesan sebuah
buket bunga kesayangan istriku. Penjual bertanya apa yang mesti ia
tulis dalam kartu ucapan?
Aku tersenyum, dan bilang: tulislah : “ Aku akan membopongmu setiap pagi sampai kita tua…”
sumber: unknown