Post kali ini juga diilhami dari tulisan terakhir dia di blog. Yang pingin tahu, bisa langsung aja visit di link ini:
Banyak tulisan dia di dalam post itu yang saya setujui. Banyaknya kerancuan dalam berpikir dan mengartikan suatu hal yang sudah berakar dan turun-temurun dalam pikiran kita. Seperti contoh-contoh yang Satria jabarkan:
Wajib BELAJAR apakah berarti wajib SEKOLAH? Pernikahan = PerCintaan? Beragama = BerTuhan?
Hal-hal seperti itulah. Dan saya setuju. Mentah-mentah. Ya!
Saya, walaupun setuju dengan pendapat Satria dalam postingannya, tapi saya suka-suka aja menempuh pendidikan samapai jenjang kuliah. Bisa dibilang, banyak hal baru yang saya dapat dari lingkungan akademis. Termasuk pembuktian kalau tidak semua orang yang mengenyam pendidikan sampai gelar berjajar-jajar itu benar-benar "berpebdidikan" oke, "beretika" :)
Ah, plus, saya suka dengan objek penelitian saya di Skripsi ini. Hehe..
Oke, back to topic. Singkat kata, kami sama-sama sedang dalam pengerjaan skripsi, hanya saja saya sudah 1 langkah lebih cepat dari teman saya ini. Dia, dalam hal ini menyukai metode yag digunakan, kurang menyukai objek skripsinya, namun sangat suka dengan pembimbing skripsinya - yang sama persis dengan saya - saat itu. Saya juga sangat suka dengan pembimbing Skripsi saya. Beliau berdua luar biasa :)
Saat sedang asyik ngobrol berdua dengan teman seperjuangan saya ini, obrolan kami jadi
ngalur-ngidul. Membahas berbagai macam hal. Sampai ada satu topik dia nyeletuk :
Teman: "Duh, nggak habis pikir sama orang yang njahit skripsi di orang atau jasa-jasa gitu. Kenapa sih mereka nggak mau usaha sendiri? Kok bisa-bisanya mereka kayak gitu. Masa sih nggak malu?"
Kurang lebih seperti itulah celetukannya.Yang entah kenapa saat itu juga refleks saya timpali
Saya : "Ya nggak tahu juga kenapa. Menurutku sih urusannya masing-masing. Memang aturan kampus nggak boleh njahit skripsi. Tapi kan kita nggak tahu latarbelakang dia kuliah kenapa"
Teman : "Ya tapi kan ini Skripsi dia sendiri. harusnya dia lebih mbelani. Berusaha mencintai skripsinya."
Saya : (hampir tertawa) " Waahh ya susah juga. Siapa yang tahu kalau dia meang nggak mau skripsi? Jangan-jangan dari dulu juga nggak mau kuliah?. kalau dia emang pada dasarnya nggak niat kuliah, terpaksa, mau nggak mau harus skripsi untuk jadi sarjana, ya jalannya lain, lah"
Teman : "Ya mungkin sih. Tapi menurutku nggak masuk akal"
*****
Percakapan itu berhentinya begitu saja. Ngambang. Saya sendiri memang tidak mentolerir diri saya sendiri untuk skripsi njahit (pakai jasa pembuatan skripsi). Karena saya dengan sadar memilih jalan yang saya tempuh ini (walaupun awalnya setengah hati). Tapi njahit Skripsi atau tidak, menurut saya bukan ukuran untuk apapun sebelum kita tahu latar belakangnya.
Sekarang, yang mana yanag akan lebih kita hargai:
1. mahasiswa yang akhirnya DO dari kampus karena masa studi sudah habis dan tidak selesai Skripsi?
2. mahasiswa yang OD (Out Dhewe; keluar sendiri) karena "tidak sanggup" lagi menghadapi tuntutan kuliah yang membebaninya?
3. mahasiswa yang akhirnya berhasil lulus, menjadi sarjana, ikut seremoni wisuda + foto bersama, tapi skripsinya nggak orisinil buatan sendiri?
Ada yang bisa menjamin di antara 3 pilihan di atas tidak akan bisa menghasilkan uang untuk hidupnya? Tidak bisa bekerja? Tidak bisa menempuh pendidikan lain? Atau ada yang bisa menjamin seorang lulusan S1 dengan gelar cumlaude dengan Skripsi hasil memerah otak sendiri dapat memperoleh pekerjaan secepatnya? Sesuai hasratnya? Sesuai kemampuannya? Ah, atau, sesuai Studi keilmuannya?
Saya sendiri, Puji Tuhan, lulus dengan hasil jungkir balik otak saya sendiri, dan berhasil dapat pekerjaan yang ajeg, gaji yang lumayan, dan melenceng dari studi keilmuan saya :)
:)